Langsung ke konten utama

Bias Berilmu, Rapuh Berakhlak

Seberapa besar kita merasa bisa melakukan sesuatu?
Seberapa besar kita mampu menahan diri untuk merenungi diri akan batas kemampuan yang kita miliki? Dentuman pertanyan-pertanyaan ini bukan sekedar mampu kita alunkan di benak, akan tetapi perlu diresapi dalam hati.
Banyak sesumbar yang kadang kita legalkan dalam logika, mendongakkan kepala seraya melantang bahwa tanpa saya semua tak akan mampu berbuat.

Alangkah dangkalnya pemikiran seperti itu.
Sejatinya pribadi yang berilmu tidak akan pernah merasa hebat atau angkuh dengan keadaan, sebab putaran waktu selalu menjadi alarm nyata pada kita.
Tidak ada yang mampu berjuang dengan sendirinya tanpa kawalan orang lain.
Namun, terlepas dari narasi yang tertoreh kita masih belum bisa berdiri tegak dengan konstruksi kemampuan yang ada.
Jasad ini bukan anti gores yang tidak dapat terluka.

Mengapa realitas banyak menyuguhkan cerita orang yang berpendidikan tinggi justru mengejar jauh dari poros asalnya.
Karena banyak yang menuntut ilmu tinggi hanya sekedar merekayasa nilai sosialnya dan berharap penghormatan tinggi di masyarakat sehingga mereka berjuang untuk mendapatkan label tertinggi demi status sosial.
Akhirnya, menjadi gulma di masyarakat dan merusakan eksistensi dari keilmuan itu sendiri. 

Mereka melihat sisi kerapuhan yang bisa dimanfaatkan dalam realitas yang ada dengan segenap tumpukan manuskrip keilmuannya.
Melegalkan pembenaran dengan argumen kebenaran sektoral semata tapi wujud aslinya mereka ingin menjadi penguasa yang haus akan rating sosial.

Pribadi seperti ini, lupa menakar diri bahwa saya belum apa-apa di matras kehidupan.
Kita terlalu menakar jauh akan kuasa ilmu yang tertancap di batok kepala kita sehingga sifat natural yang seharusnya menyelimuti hati hilang begitu saja dan bahkan jauh dari wujud dasar keilmuan yang sebenarnya.

Tengok hamparan realitas, banyak yang memiliki ilmu yang tinggi tapi jauh dari kata berilmu atau di saat lain, banyak yang tidak menempuh jalur pendidikan tinggi tapi justru sarat akan keilmuan. 
Logika sederhananya, semakin tinggi pendidikan seharusnya semakin tajam aplikasi keilmuan tersemai di kehidupannya.
Bukan malahan terjun bebas ke dasar kesesatan.
Untaian keilmuan seharusnya tidak menjadikan kita buta hati dan tinggi hati, namun yang menjadi pondasi dasar dari kekuatan ilmu adalah kemampuan kita untuk tetap merendah.
Sebab kerendahan hati lah yang akan membawa kita ke tempat yang tinggi.

Orang yang berilmu akan senantiasa menautkan kesederhanaan dan kesantunan dalam merangkai kehidupannya.
Dia tidak merasa menonjol namun akan di tonjolkan oleh ilmunya.
Pribadi yang berilmu selalu mendekap kerendahan hati dalam berbuat, sebab dia percaya bahwa setiap pintu kehidupan akan menyambutnya dengan kehangatan. 

Titik dasar ilmu bukan pada titel yang tersemat, namun seberapa bijak dia menerapkan akhlak di setiap rotasi perbuatan yang terhela. Pribadi yang berilmu, seperti jembatan titian yang kokoh menjadi pijakan dan narahubung kebaikan bagi sesama, membina persatuan bukan malahan meruntuhkan kebenaran dengan dalil pembenaran ego semata atau menjadi tembok penghalang masuknya cahaya kebaikan bagi sesama.

Jalan pribadi yang berilmu dan berakhlak akan seperti lecutan panah.
Sang pemanah diam di posisi namun lecutannya dan titik bidiknya akan merubah semesta dan sekitarnya. Diamnya pribadi yang berilmu mulia adalah titik jeda untuk merefleksi diri untuk kembali giat memperbaiki kesalahan yang ada dan akan terus mencari solusi untuk ke depannya.

Pribadi yang berilmu dan berahlak akan melihat titik keadilan dalam ruang yang lebih luas sebab mereka percaya keadilan akan terus bergulir.
Jeda sesaat, maka keadilan akan mewujud tanpa kita sadari terjadinya.
Tentunya dia akan menampakkan diri seberapa besar pun upaya untuk menghalangi lajunya.
Entitasnya akan datang pada waktu yang tidak terkira oleh kita semua.

Penulis : Askarim
Editor : Faudzan Farhana
Ilustrasi : Yati Paturusi
Gambar : canva.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Lagu Ribas Lelaki Yang Menangis

Lagu Ribas berjudul lelaki yang menangis dirilis tahun 2003. Lagu ini cukup populer di kalangan generasi 90-an. Penyanyi bernama lengkap Mohammad Ridha Abbas ini juga menyelipkan lirik berbahasa Bugis di antara lagunya. Sebagai putera kelahiran Pare-pare, Ribas nampaknya ingin mengeksplorasi budaya Bugis lewat syair yang ia tulis. Banyak yang penasaran dengan arti lirik Bugis tersebut. Apa maknanya? Simak penjelasan berikut. Arti Lirik Bugis La Ribas, mageni muterri Sierang iya de’na wengka usailaiko (Ribas, kenapa engkau menangis Sedang aku tak pernah meninggalkanmu) La Ribas, mageni muterri Sierang iya lona rewe, namo depa wissengi (Ribas, kenapa engkau menangis, sedang aku sudah mau pulang, namun aku belum tahu) Penjelasan Dalam Bahasa Bugis La adalah kata sandang untuk panggilan anak lelaki dan pada perempuan menggunakan kata (i) Contoh : La Baco (dia lelaki) dan I Becce (dia perempuan) Ko dan mu adalah klitika dalam dialeg Sulawesi Selatan yang artinya kamu Contoh : Usailak...

Peduli Itu Ada Aksi

Peduli itu ada aksi Bukan sekadar susunan diksi Penyemangat menyentuh hati Cuma berbasa-basi Ingin keadaan berubah lakukan usaha bukan mengkhayal dan berwacana saja berharap keajaiban dari Allah Kamu punya mimpi ajak kawan berdiskusi cari solusi ikut berkontribusi bukan cuma nunjuk jari berlagak bossy Peduli itu meluangkan waktu melakukan sesuatu ikut bantu Jaman sudah canggih Tinggal mainkan jemari Klik share, like, bantu promosi Aksi kecil tapi berarti Baca juga : Wahai Pengumbar Mimpi Penulis & Ilustrasi : Uli’ Why Gambar : yukbisnis.com

Qinan Rasyadi, Sabet Juara & Kejar Cita-Cita Lewat Kimia

Cita-cita boleh berubah, tapi usahanya harus tetap sama. Dulu pengen jadi pengusaha, sekarang “ engineer ” di depan mata. *** Muhammad Qinan Rasyadi, pemuda asal Makassar kelahiran 2006 ini baru saja lulus SMA. Dalam acara penamatan siswa yang digelar secara hybrid di Ruang Saji Maccini Baji, Kompleks SMAN 5 Gowa (Smudama) pada Rabu (22/05/2024), Qinan diganjar penghargaan Sakura Prize . Sakura Prize adalah penghargaan tahunan berupa plakat dan beasiswa tunai dari alumni Smudama Jepang. Serupa dengan Sakura Prize tahun 2022 dan 2023, tahun ini pun beasiswanya Rp. 3.000.000. Awalnya berseragam putih abu-abu, Qinan harus menjalani sekolah online selama satu semester di tengah pandemi Covid-19 . Baru pada Januari 2022, ia masuk asrama Smudama. Sekolah offline rupanya membuat Qinan makin giat belajar. Sejumlah prestasi berhasil ditorehkan selama menjadi siswa Smudama. Ia juga turut mewakili Sulawesi Selatan dalam ajang olimpiade sains tingkat nasional pada tahun 2022 dan 20...