Langsung ke konten utama

Mukena Lusuh Nenek

Mukena lusuh nenek tergantung di jemuran di bagian bawah rumah panggungnya. Sore itu, aku berinisiatif mengambilnya. Kupikir, sekalian menjenguk Nenek Mima untuk melepas rindu. Sejak merantau ke kota, sudah hampir setahun, aku hanya bertemu sekali dengannya.

Dengan sangat berhati-hati, aku mengambil mukena nenek yang melingkar pada sebatang bambu tua yang dijadikan sebagai jemuran. Kainnya sudah sangat tipis. Aku khawatir mukenanya mudah sobek. Beruntung, mukena itu tidak tersangkut, sehingga aku bisa melipatnya dengan rapi.

Aku langsung naik ke rumah nenek, mencarinya di dalam kamar, untuk menyerahkan mukena kesayangannya. Dari jauh, kulihat pintu kamarnya sedikit terbuka, kuketuk sebentar lalu masuk.

“Assalamu’alaikum,” kulihat Nenek Mima sedang berbaring di kasur. Ia segera bangkit dan menyahut.

“Wa’alaikumussalam. Siapa?” ucapnya menatapku lekat.

“Nek, ini Megumi,” jawabku setelah mendekat.

“Aaaa? Siapa? Maaf, Nak, Nenek ini tuli, keraskan sedikit suaranya,” nenek menjawab sambil mengernyitkan kening.

“Gumi, Nek,” kunaikkan nada suaraku. Berharap Nenek Mima mendengarnya dengan jelas.

“Oh! Gumi?! Kamu kapan datang, Nak?” butuh waktu lama bagi Nenek Mima untuk mengenaliku. Tampak raut bahagia di wajahnya saat ia melihatku.

“Ini baru datang, Nek. Oh iya, ini mukena Nenek ya. Saya ambil dari jemuran di bawah,” kataku sembari menyerahkan lipatan kain putih yang sudah tampak lusuh ke tangannya.

“Oi, Gumi! Ternyata kamu,” Tante Ami mengagetkanku dari bilik pintu. Ia lalu masuk ke kamar dan duduk di sampingku.

Kami bertiga belum sempat bercakap-cakap, tapi kemudian terdengar suara azan. “Itu azan Asar?” tanya Nenek Mima.

“Iya, Bu, itu sudah azan. Ibu mau salat sekarang? Ini mukena lama Ibu diganti saja. Banyak mukena baru di lemari itu, Bu,” ucap Tante Ami menawarkan.

“Jangan, Mi! Itu mukena kesayangan, Ibu! Tidak apa-apa lusuh,” nenek menolak tawaran anaknya.

“Sudah belasan tahun itu mukena nggak diganti-ganti. Berkali-kali dijahit karena sudah sering sobek juga,” ucap Tante Ami menatapku tajam.

Bukan kali itu saja kulihat Tante Ami membujuk nenek untuk mengganti mukenanya. Sekian nasehat disampaikan sang anak, tapi Nenek Mima tetap bersikeras ingin memakai mukena lusuhnya itu untuk salat sehari-hari di rumah.

“Biarlah Nenek pakai mukena ini, Nak. Ini biar Allah lihat kalau Nenek itu orang susah. Mukenanya lusuh karena tidak bisa beli mukena baru setiap tahun,” Tante Ami hanya menghela nafas mendengar ucapan ibunya.

“Nek, Allah itu suka kalau kita selalu berpakaian rapi dan wangi saat menghadap-Nya. Mengenakan baju baru atau mukena baru kalau salat, itu Allah senang, Nek,” aku berusaha meyakinkan Nenek Mima.

“Nggak apa-apa, Nenek tampil apa adanya saja di hadapan Allah. Mukena lusuh itu juga bukti kalau Nenek Alhamdulillah masih bisa salat tiap hari. Jika ada mukena baru, itu tandanya jarang dipakai,” mendengar ucapan nenek, aku dan Tante Ami hanya saling berpandangan.

***
Azan Subuh berkumandang. Selepas sahur, aku tak kembali tidur. Kubangunkan adik sepupuku yang kembali masuk ke kamarnya setelah sahur tadi.

“Lala, bangun! Udah azan. Salat berjamaah, yuk!” ucapku menepuk pundaknya berkali-kali. Lala segera bangun dan mengambil air wudu. Ia menghampiriku setelah mengenakan mukenanya.

“Kak Gumi jadi imam ya,” ucapnya kemudian berdiri di sampingku.

Setelah menunaikan salat subuh berdua, Lala menyadarkanku jika mukena yang kugunakan sobek.

“Ih, mukenanya sobek ya, Kak? kata Lala menunjukkan bagian sobek yang terjuntai di belakangku. Mukenanya segera kulepas. Saat melihat bagian sobeknya, aku kembali teringat pada mukena lusuh nenek.

“Ah, seharusnya sebelum Ramadan aku beli mukena baru. Buat tarawih lain, untuk salat di rumah juga kan bisa lain mukenanya. Padahal, aku pernah mengingatkan nenek, jika Allah menyukai pakaian baru saat kita menghadap-Nya. Kenapa kita bersemangat menyiapkan baju baru saat bertemu dengan orang lain? Sedangkan di hadapan Sang Maha Pencipta, kita lebih sering berpenampilan seadanya.”


Ilustrasi & Gambar : Dokpri Penulis

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Lagu Ribas Lelaki Yang Menangis

Lagu Ribas berjudul lelaki yang menangis dirilis tahun 2003. Lagu ini cukup populer di kalangan generasi 90-an. Penyanyi bernama lengkap Mohammad Ridha Abbas ini juga menyelipkan lirik berbahasa Bugis di antara lagunya. Sebagai putera kelahiran Pare-pare, Ribas nampaknya ingin mengeksplorasi budaya Bugis lewat syair yang ia tulis. Banyak yang penasaran dengan arti lirik Bugis tersebut. Apa maknanya? Simak penjelasan berikut. Arti Lirik Bugis La Ribas, mageni muterri Sierang iya de’na wengka usailaiko (Ribas, kenapa engkau menangis Sedang aku tak pernah meninggalkanmu) La Ribas, mageni muterri Sierang iya lona rewe, namo depa wissengi (Ribas, kenapa engkau menangis, sedang aku sudah mau pulang, namun aku belum tahu) Penjelasan Dalam Bahasa Bugis La adalah kata sandang untuk panggilan anak lelaki dan pada perempuan menggunakan kata (i) Contoh : La Baco (dia lelaki) dan I Becce (dia perempuan) Ko dan mu adalah klitika dalam dialeg Sulawesi Selatan yang artinya kamu Contoh : Usailak...

Peduli Itu Ada Aksi

Peduli itu ada aksi Bukan sekadar susunan diksi Penyemangat menyentuh hati Cuma berbasa-basi Ingin keadaan berubah lakukan usaha bukan mengkhayal dan berwacana saja berharap keajaiban dari Allah Kamu punya mimpi ajak kawan berdiskusi cari solusi ikut berkontribusi bukan cuma nunjuk jari berlagak bossy Peduli itu meluangkan waktu melakukan sesuatu ikut bantu Jaman sudah canggih Tinggal mainkan jemari Klik share, like, bantu promosi Aksi kecil tapi berarti Baca juga : Wahai Pengumbar Mimpi Penulis & Ilustrasi : Uli’ Why Gambar : yukbisnis.com

Qinan Rasyadi, Sabet Juara & Kejar Cita-Cita Lewat Kimia

Cita-cita boleh berubah, tapi usahanya harus tetap sama. Dulu pengen jadi pengusaha, sekarang “ engineer ” di depan mata. *** Muhammad Qinan Rasyadi, pemuda asal Makassar kelahiran 2006 ini baru saja lulus SMA. Dalam acara penamatan siswa yang digelar secara hybrid di Ruang Saji Maccini Baji, Kompleks SMAN 5 Gowa (Smudama) pada Rabu (22/05/2024), Qinan diganjar penghargaan Sakura Prize . Sakura Prize adalah penghargaan tahunan berupa plakat dan beasiswa tunai dari alumni Smudama Jepang. Serupa dengan Sakura Prize tahun 2022 dan 2023, tahun ini pun beasiswanya Rp. 3.000.000. Awalnya berseragam putih abu-abu, Qinan harus menjalani sekolah online selama satu semester di tengah pandemi Covid-19 . Baru pada Januari 2022, ia masuk asrama Smudama. Sekolah offline rupanya membuat Qinan makin giat belajar. Sejumlah prestasi berhasil ditorehkan selama menjadi siswa Smudama. Ia juga turut mewakili Sulawesi Selatan dalam ajang olimpiade sains tingkat nasional pada tahun 2022 dan 20...