Langsung ke konten utama

Langit Untuk Aurora (Part 2)

“Kak, kami turun di parkiran saja. Kak Rara belum mau ketemu sama kita’. Kayaknya masih malu-malu kucing, hahaha,” setelah membaca pesan kakaknya yang masuk ke smartphone-nya, Naila segera memberitahu Angga saat mobil yang mereka kendarai sudah memasuki kawasan bandara.

“Oke, bisa dimengerti,” ujar Angga  sambil tersenyum dan sedikit tersipu. Ia paham betul bahwa proses yang mereka pilih memang butuh perjuangan. Terutama perjuangan untuk menjaga hati agar tetap netral hingga hari akad nanti. Maka, minimnya pertemuan langsung yang tak terlalu urgent, akan membantu mereka untuk tetap lebih terjaga lagi.

Aku menyeruput kopi hangat instan di minimarket area penjemputan bandara. Menunggu duo adik yang belum juga tiba. Sambil melihat-lihat beberapa referensi akun MUA di Makassar. 

“Rara! benar Aurora kan?” tanya seorang pria berbadan tinggi yang tanpa kusadari telah berdiri di sampingku. Ia mengenakan kemeja dengan perpaduan warna abu-abu biru mirip baju batik Smudama yang legendaris.

Aku langsung mengenalinya, Kay, pria yang Kanaya juluki sebagai kanebo kering. Manusia pertama yang berhasil memenangkan hati seorang Aurora, 8 tahun lalu.

“Duuuh kenapa harus ketemu dia sih,” rutukku dalam hati.

“Iya betullah, masa teman angkatan sendiri tidak mukenali,” aku mencoba sok akrab.

“Karena ada yang beda begitu. Ooh jilbabnya, lebih panjang. Hehehe,” aku tak tahu harus menimpali apa, jadi hanya melempar senyum dan memutuskan untuk kembali meneguk kopi di depanku.

(Terdengar suara azan)

“Alhamdulillah, saya duluan pade nah, mau salat dulu,” Kay pamit.
“Oke, saya juga mau salat,” jawabku kaku.
“Belumpi salat?”
“Ya kan memang baru azan.”
“Maksudku, kenapa tidak dijamak saja tadi? Kan Allah suka, kalau kita manfaatkan keringanan yang Allah kasi’. Kan habis bepergian jauh toh, itu kopernya.”
“Iya, kutahuji. Tapi tadi memang belum sempat salat, makanya mau jamak ta’khir ini. Duluanka di’, ” Aku menutup percakapan, menarik koper, dan melangkah keluar terlebih dahulu.

“Selalu saja begitu, memang tidak bisa selaras,” gumamku dalam hati.

Aku masih mencari-cari letak musala di area penjemputan. Saat Nana dan Naila sudah datang dari arah parkiran sambil berlari kecil dengan wajah yang berlinangan air mata, ada firasat buruk yang seketika menyelimuti.

“Bismillah, semua keputusan saya serahkan ke pihak Kak Angga kak. Tidak mungkin melaksanakan walimah dalam waktu dekat,” aku menjelaskan kondisi keluargaku pada Kak Nuri, murobbiyah yang menjadi perantara dalam proses ta’aruf kami.

“Lagi pula kalaupun qadarullah walimah bisa terlaksana, saya takut lalai dari peran baruku sebagai istri. Khawatir malah menghabiskan lebih banyak waktu untuk fokus mengikhtiarkan kesembuhan orang tuaku dulu, Kak,” aku menambahkan.

“Kalau begitu, insya Allah saya sampaikan keputusanta’ ke Angga dan keluarga. Untuk kelanjutannya, nanti kita musyawarahkan lagi,” ujar Kak Nuri setelah mendengar penjelasan panjangku.

“Loh, Rara, keluarga pasienki?” tanya seorang dokter yang masuk ke ruangan ketika mendapatiku duduk di samping tempat tidur Ayah.

“Iya,” jawabku singkat sambil mengangkat kepala memastikan siapa yang bertanya dan terhenyak ketika melihatnya.

“Kenapa harus dia, lagi?!”

bersambung

Baca juga : Langit Untuk Aurora (Part 1)
celotehanakgunung.com/langit-untuk-aurora-1/

Arti kata dalam dialeg Sulsel :
Ki/ Kita = kamu, digunakan untuk menyapa orang yang dianggap lebih tua atau dihormati atau dengan tujuan bersikap sopan
Ko /Mu = kamu, digunakan untuk menyapa orang yang sebaya atau lebih muda dalam percakapan santai
Ji = cuma
Mi = sepadan dengan makna “lah”, namun bisa juga berarti “sudah” atau “saja”
Ka = saya
Pade = kalau begitu
Toh = pembenaran, misalnya iya kan (iya toh)
Pi = berkaitan dengan masa atau waktu. Bisa juga berarti saja

Kata lain :
Murobbiyah : pembimbing (perempuan)
Qadarullah : ketetapan dari Allah SWT

Penulis : Ana Ainul Syamsi
Editor : Faudzan Farhana, Uli’ Why
Ilustrasi : Uli’ Why
Gambar : Valdemaras D.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Lagu Ribas Lelaki Yang Menangis

Lagu Ribas berjudul lelaki yang menangis dirilis tahun 2003. Lagu ini cukup populer di kalangan generasi 90-an. Penyanyi bernama lengkap Mohammad Ridha Abbas ini juga menyelipkan lirik berbahasa Bugis di antara lagunya. Sebagai putera kelahiran Pare-pare, Ribas nampaknya ingin mengeksplorasi budaya Bugis lewat syair yang ia tulis. Banyak yang penasaran dengan arti lirik Bugis tersebut. Apa maknanya? Simak penjelasan berikut. Arti Lirik Bugis La Ribas, mageni muterri Sierang iya de’na wengka usailaiko (Ribas, kenapa engkau menangis Sedang aku tak pernah meninggalkanmu) La Ribas, mageni muterri Sierang iya lona rewe, namo depa wissengi (Ribas, kenapa engkau menangis, sedang aku sudah mau pulang, namun aku belum tahu) Penjelasan Dalam Bahasa Bugis La adalah kata sandang untuk panggilan anak lelaki dan pada perempuan menggunakan kata (i) Contoh : La Baco (dia lelaki) dan I Becce (dia perempuan) Ko dan mu adalah klitika dalam dialeg Sulawesi Selatan yang artinya kamu Contoh : Usailak...

Peduli Itu Ada Aksi

Peduli itu ada aksi Bukan sekadar susunan diksi Penyemangat menyentuh hati Cuma berbasa-basi Ingin keadaan berubah lakukan usaha bukan mengkhayal dan berwacana saja berharap keajaiban dari Allah Kamu punya mimpi ajak kawan berdiskusi cari solusi ikut berkontribusi bukan cuma nunjuk jari berlagak bossy Peduli itu meluangkan waktu melakukan sesuatu ikut bantu Jaman sudah canggih Tinggal mainkan jemari Klik share, like, bantu promosi Aksi kecil tapi berarti Baca juga : Wahai Pengumbar Mimpi Penulis & Ilustrasi : Uli’ Why Gambar : yukbisnis.com

Qinan Rasyadi, Sabet Juara & Kejar Cita-Cita Lewat Kimia

Cita-cita boleh berubah, tapi usahanya harus tetap sama. Dulu pengen jadi pengusaha, sekarang “ engineer ” di depan mata. *** Muhammad Qinan Rasyadi, pemuda asal Makassar kelahiran 2006 ini baru saja lulus SMA. Dalam acara penamatan siswa yang digelar secara hybrid di Ruang Saji Maccini Baji, Kompleks SMAN 5 Gowa (Smudama) pada Rabu (22/05/2024), Qinan diganjar penghargaan Sakura Prize . Sakura Prize adalah penghargaan tahunan berupa plakat dan beasiswa tunai dari alumni Smudama Jepang. Serupa dengan Sakura Prize tahun 2022 dan 2023, tahun ini pun beasiswanya Rp. 3.000.000. Awalnya berseragam putih abu-abu, Qinan harus menjalani sekolah online selama satu semester di tengah pandemi Covid-19 . Baru pada Januari 2022, ia masuk asrama Smudama. Sekolah offline rupanya membuat Qinan makin giat belajar. Sejumlah prestasi berhasil ditorehkan selama menjadi siswa Smudama. Ia juga turut mewakili Sulawesi Selatan dalam ajang olimpiade sains tingkat nasional pada tahun 2022 dan 20...